Beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada hari rabu, temanku
menemukan dua botol sabun cair yang digunakan untuk membuat gelembung.
Aku, dia, dan satu temanku lagi, bermain-main dengan botol itu. Mencelupkan batangannya, lalu meniupnya hingga munculah gelembung-gelembung kecil yang berterbangan di dalam kelas kosong yang kami tempati untuk kegiatan ekstrakurikuler. Dan kelas itu adalah kelas dimana aku selalu melihatnya diam-diam sedang futsal di lapangan sekolah setiap hari rabu. Lalu, muncul sebuah ide untuk meniupnya di luar kelas. Kami bertiga keluar dari kelas dan mencari spot bagus untuk meniup gelembung. Ya, dan kami berhenti di tangga menuju lantai tiga. Kami meniup-niup gelembung itu seolah kami ini masih anak kecil yang senang dengan mainan barunya.
Tanpa sengaja aku menceplos kalimat-kalimat galau, norak, dan aneh.
“Gelembung-gelembung ini sama kayak perasaanku padamu, dia terbang, terbang ke arahmu, tapi sayangnya, belum sempat kau menerima gelembung itu, dia pecah di tengah-tengah.”
“Gelembung-gelembung ini sama kayak perasaanku padamu, dia dibuat banyak, banyak sekali dan terbang tinggi bersama-sama. Tapi mereka pecah jika mereka terbang tinggi, dan gelembung itu tidak akan pernah sampai padamu karena mereka semua sudah pecah sebelum kau bisa mengambilnya.”
“Gelembung-gelembung ini indah jika kau melihat dan memandangnya, sayangnya kau sedang tidak ada di sini saat aku meniupkan gelembung-gelembung ini untukmu.”
Aku, dia, dan satu temanku lagi, bermain-main dengan botol itu. Mencelupkan batangannya, lalu meniupnya hingga munculah gelembung-gelembung kecil yang berterbangan di dalam kelas kosong yang kami tempati untuk kegiatan ekstrakurikuler. Dan kelas itu adalah kelas dimana aku selalu melihatnya diam-diam sedang futsal di lapangan sekolah setiap hari rabu. Lalu, muncul sebuah ide untuk meniupnya di luar kelas. Kami bertiga keluar dari kelas dan mencari spot bagus untuk meniup gelembung. Ya, dan kami berhenti di tangga menuju lantai tiga. Kami meniup-niup gelembung itu seolah kami ini masih anak kecil yang senang dengan mainan barunya.
Tanpa sengaja aku menceplos kalimat-kalimat galau, norak, dan aneh.
“Gelembung-gelembung ini sama kayak perasaanku padamu, dia terbang, terbang ke arahmu, tapi sayangnya, belum sempat kau menerima gelembung itu, dia pecah di tengah-tengah.”
“Gelembung-gelembung ini sama kayak perasaanku padamu, dia dibuat banyak, banyak sekali dan terbang tinggi bersama-sama. Tapi mereka pecah jika mereka terbang tinggi, dan gelembung itu tidak akan pernah sampai padamu karena mereka semua sudah pecah sebelum kau bisa mengambilnya.”
“Gelembung-gelembung ini indah jika kau melihat dan memandangnya, sayangnya kau sedang tidak ada di sini saat aku meniupkan gelembung-gelembung ini untukmu.”
Norak? Galau? Aneh? Iya emang. Tapi aku gak peduli, kedua temanku hanya terdiam dan memberikanku puk-puk biar aku gak galau. Setelah kami pikir cukup, kami kembali ke kelas tadi. Tak lama, aku mencoba untuk melihat lapangan sekolah dari jendela kelas itu. Dan beruntungnya aku, aku menemukan dia datang dengan senyumannya yang tidak ditujukan untukku yang melihatnya diam-diam dari atas sini.
No comments:
Post a Comment